Aku merasakan kebahagian yang selama ini belum pernah kualami sepanjang  kehidupanku. Perkawinan. Ya,  perkawinan. Hanya perkawinan, sebuah kata  yang  sangat kurindukan yang  dulu tak pernah ada dalam kamus   kehidupanku yang sudah hampir begitu terlambat kukatakan dewasa.. Ingin   rasanya kubuat sebuah baliho raksasa di tengah kota agar semua orang   tahu bahwa aku akan segera kawin. Lalu, bagaimana reaksi teman-temanku   bila kubagikan cerita ini?!
“Apa?! Kamu  mau kawin?!”
“Iya, Saya mau  kawin!”
“Serius?!”
“Iya! Masa nggak percaya, sih?”
“Nggak!”
“Memangnya kenapa kalau  saya kawin?”
“Nggak apa-apa, sih, cuma  aneh aja.”
“Aneh kenapa?”
“Aneh!”
“Ya, anehnya kenapa?”
“Kayak bukan dirimu  saja.”
“Memangnya saua kenapa?”
“Emang bener kamu mau  kawin?”
“Idiih! Masa saya bohong, sih?!”
“Nggak becanda, kan?”
“Heran,  deh! Masa soal kayak begini bercanda!”
“Mungkin  aja! Kamu, kan, gila!”
“Reseh! Ya  sud! Tapi kalau beneran,  mau kasih apa ke gua?”
“Apa aja yang kamu minta!”
“Benar?”
“Iya!”
“Kalau gitu, tunggu aja,  deh undangannya!”
“Oke!”
“Saya  pegang janjimu!”
“Siip!”
Klik. Kututup telepon. Ternyata Tita, teman yang sudah  kukenal lebih dari sepuluh tahun pun tidak percaya!
—-
Seorang Diana mau kawin?  Ha! Impossible! At least not until the next couple of years,   deh! Semua orang berpikir seperti itu. Teman-teman, sahabat,   saudara-saudara, bahkan orangtua dan adik-adikku pun tidak ada yang   percaya.
Diana yang pintar.  Penuh  ambisi. Selalu bercita-cita tinggi dan ingin bisa merubah dunia.  Tidak pernah ada kata  berhenti bagi seorang Diana. Maju terus, pantang  mundur!
Diana yang amat sangat   mandiri. Super power. Selalu ingin mencoba dan merasakan semuanya.   Sendirian! Tidak pernah ada keraguan atau rasa takut. Selama masih bisa,   kenapa tidak dikerjakan sendiri?
Diana yang sangat  menjunjung tinggi arti kebebasan - “Freedom is her middle name“.   Tidak akan pernah ada yang bisa memberinya pagar. Tidak akan pernah  ada  yang bisa mengikatnya. Kebebasan adalah mutlak dan harus  dipertahankan.
Sangat tipikal perempuan  zaman sekarang, deh!
Tidak heran! Malah  boleh  kubilang sangat wajar sekali. Perubahan ini memang sangat  mendadak.  Semua keputusan ini memang aku ambil hanya dalam waktu yang  sangat  singkat. Tidak memakan proses yang terlalu lama. Cukup  dalam  kurun waktu tiga bulan saja. Sangat singkat, terutama buat orang  yang  dikenal dengan karakter dan sifat sepertiku.
Mereka pasti berpikir   orang sepertiku tidak akan pernah kawin. Atau mungkin kawin, tapi tidak   sekarang. Paling tidak sampai aku sudah bosan menikmati hidup. Sudah   benar-benar mapan. Yang paling penting, sudah menemukan pria yang   benar-benar ideal, bisa seratus persen dicintainya, dan tentu saja harus   sangat pintar, mapan, pengertian, dan betul-betul sabar! Dalam kata   lain, almost impossible. Paling-paling juga nanti, kalau aku  sudah bangkotan. Itu pun masih belum tentu.
Mereka pasti heran,   kenapa sekarang aku bisa tiba-tiba saja berubah pikiran?  Apa aku tidak  takut kehilangan semua ambisi dan cita-citaku selama ini?  Apa aku bisa  membagi semua kehidupanku hanya dengan satu  orang saja? Apa aku  benar-benar yakin bisa mempertahankan sebuah ikatan  perkawinan?  Perkawinan bukan permainan, lho! Intinya, apa aku  benar-benar sudah  siap?
Jujur saja, frankly kalau aku  sampai ditanya, aku pasti tidak akan pernah bisa menjawab.  Kenapa?  Nggak tahu! Nggak takut? Ada juga, sih! Yakin? Hmmm…. Siap?  Waduh!
Walau bagaimanapun juga   keputusan ini sudah menjadi keputusanku. Keputusanku adalah final.  Tidak  akan pernah ada yang bisa mengganggu gugat setiap keputusanku.  Tidak akan pernah bisa  berubah. Semuanya sudah bulat.
Let them think what they  want. Terserah! Aku tidak peduli! Ini adalah keputusanku dan  hanya aku yang tahu alasannya. So, they better believe it or… get  lost!
Nobody knows me better but me…
—–
Setiap   manusia yang dilahirkan diberi kesempatan untuk menggunakan anugerah   yang paling besar yang telah dikaruniai sejak masih dalam kandungan yang   membuat derajat manusia menjadi sangat tinggi untuk memilih sebuah   jalan dari berbagai pilihan jalan yang bercabang yang sangat beraneka   ragam dengan berbagai macam variasi, bentuk dan jenisnya yang   masing-masing akan menghasilkan sesuatu yang berakibat langsung maupun   tidak langsung mempengaruhi setiap manusia yang dilahirkan itu sendiri.
Hidupku selama ini  terlalu sempurna.  Semua yang kuinginkan sudah kudapat. Semua yang aku  inginkan sudah  keperoleh. Paling tidak menurut takaran atau ukuranku  sendiri. Orang  lain bisa berpikir belum cukup, tapi hey, ini aku. Aku  bukan mereka.
Pedidikanku   tinggi, termasuk tinggi untuk ukuran orang-orang seumurku. Aku sudah   mendapat gelar Master. Dari luar negeri dan dari sebuah universitas yang   terkenal berkelas pula. Tidak semua orang bisa mendapatkannya. Tidak   semudah itu.
Posisiku  di  kantor lumayan tinggi. Paling tidak aku bisa bilang aku adalah  salah  satu orang termuda yang bisa mendapatkan posisi ini di kantor  asing yang  jumlah karyawannya ribuan. Aku sudah menjadi manajer.  Pengaruhku cukup  besar. Kalau sekali saja aku gagal, berarti ratusan  ribu Dollar  melayang.
Pendapatku   juga sangat besar. Aku bisa berfoya-foya setiap hari. Aku bisa makan  di  restoran enak setiap saat. Apapun yang kkumau bisa kubeli. Ditambah   semua fasilitas yang diberikan, aku rasa sudah lebih dari cukup.
Yang  paling  membanggakan, semua itu kuperoleh atas hasil kerja kerasku  sendiri.  Sekolah tinggi dari hasil beasiswa. Posisi tinggi karena aku  memang bisa  memperlihatkan hasil yang terbaik. Gaji tinggi pun kudapat  karena aku  tahu aku punya bargaining power yang tinggi. No KKN, man!
Kasih   sayang dan perhatian kudapat semuanya dari teman-teman dan keluarga.  Aku  sangat dekat dengan keluargaku. Aku sayang mereka dan mereka sangat   sayang kepadaku. Bukan hanya sekadar dalam pikiran dan hati   masing-masing, tapi semuanya kelihatan banget, kok! Kalau aku sakit   pilek saja, berapa banyak telepon yang harus kujawab hanya untuk   memastikan aku hanya terkena pilek dan bukan sesuatu yang serius. Apa   ada yang lebih baik?
Kehidupanku   dalam bersosialisasipun tidak perlu diragukan lagi. Mau anak pejabat,   anak tukang becak, kakek-kakek, anak kecil, semua bisa jadi temanku.  Aku  memang tidak pernah memberi patokan khusus siapa yang bisa dan yang   tidak bisa menjadi temanku. Selama hanya sebatas teman, semua tidak  jadi  masalah. Kalau bicara soal sahabat, tentu saja beda lagi.
Pacar?   Jangan ditanya! Mungkin kalau pacaran, sih, tidak banyak - hanya dua   kali saja! Jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pengalaman teman-teman   wanitaku yang lain. Tapi kalau soal HTI (HUbungan Tanpa Ikatan),   jumlahnya sudah tidak bisa terhitung lagi. Kalaupun aku akhirnya   memutuskan untuk sendiri dulu, bukan berarti tidak ada yang mendekat.   Malas saja! Kadang-kadang orang butuh waktu untuk menikmati hidup   sendirian.
Semuanya   begitu sempurna. Malah terlalu sempurna dan akhirnya semua menjadi   membosankan. Tantangan apa lagi yang harus aku hadapi? Apa, sih, yang   belum pernah aku rasakan? Apa yang belum pernah aku pikirkan? Apa yang   belum pernah aku jalani?
Kupikir-kupikir lagi.   Kucari-kucari terus. Yang paling menyebalkan, semakin  kupikir,  semakin kucari, semakin bosan rasanya aku dengan kehidupanku  itu.
Selama ini  aku memang sengaja menutupi semua pemikiran dan perasaanku yang satu  ini. Buat apa juga orang lain tahu? Toh,  pada akhir-akhirnya  harus aku juga yang mengambil keputusan karena  memang aku juga yang akan  menjalani. Banyak jalan ke Roma, tapi hanya  aku yang bisa memutuskan  untuk pergi ke sana dengan berjalan kaki. Apa  ada orang lain yang mau  ikut? Yang capek, yang pegal-pegal, yang  pingsan di jalan, kan, aku  sendiri. Bukan orang lain, toh! Lagipula aku merasa punya  kemampuan untuk mengambil keputusanku sendiri. Buat apa aku punya otak?  Buat apa aku punya hati?
—-
“Say,  doain, ya!”
“Kenapa? Ada apa?”
“Hi hi hi…!”
“Kok, ketawa, sih?”
“Malu!”
“Malu kenapa lagi?”
“Nggak….”
“Nggak apa?”
“Jangan ketawa, ya!”
“Apa dulu?”
“Tuh, kan, kamu gitu sih orangnya!”
“Iya, ah! Apaan, sih?”
“Masa tadi malam Rully  ngajak saya kawin….”
“Oh, ya?”
“He-eh.”
“Dia bilangnya gimana?”
“Ya, gitu, deh!”
“Ya, gitu, gimana?”
“Yaaa, pokoknya dia  bilang kalau dia sudah siap dan dia pengen buru-buru kawin sama gua.”
“Terus…”
“Ya, terus dia nanya apa  saua mau kawin sama dia.”
“Ya, so pastilah. Kamu  memangnya udah pengen kawin, bukan?”
“He-eh.”
“Terus, kapan  rencananya?”
“Dia, sih, maunya  secepatnya. Kalau bisa tahun ini juga.”
“Wah, selamat, ya!”
“Thank you! Saya juga  doakan biar kamu juga cepet kawin, deh!”
“Eh, entar dulu, deh. Sama siapa juga  nggak tahu.”
“Ntar juga pasti ada.”
“Hmmm….”
“Kenapa, sih, kamu nggak  mau kawin?”
“Ya, saya masih enjoy aja.”
“Ntar ketuaan, lo!”
“Mendingan kawin tua,  deh, daripada dapet yang nggak bener.”
“Iya, sih. Tapi kalau  udah tua kan bakal susah punya anak.”
“Kata siapa? Kan,  sekarang sudah ada bayi tabung.”
“Cuma  kasihan aja sama anak, lo. Sampai kapan, sih, kamu kuat nemenin  dia.  Ntar pas dia lagi seneng-senengnya pergi, kamunya udah penyakitan.   Kalau sekarang, kan, enak. Dirimu dan anak-anakmu jadi bisa kayak   temen.”
“Udah, ah! Capek!”
……………
Entah   mengapa obrolanku dengan Nina terus ada di dalam otakku. Semua   kata-katanya selalu terngiang di telingaku. Aku jadi pusing sendiri,   kenapa, nih?
Hanya  perkawinan yang menjadi jawabannya.
Janji  pernikahan adalah serangkaian kata-kata indah…
Yang diucapkan dua orang manusia  dengan penuh perasaan cinta…
 Di hadapan Tuhan dan  semua makhluk ciptaannya
Di antara sekian banyak kata-kata  dan janji yang pernah diucapkan…
 Dengan penuh ketulusan  dan besarnya harapan…
 Di tengah-tengah  kebimbangan dan kepastian…
 Di ujung tombak  penyerahan dan penerimaan diri…
 Dinikmati perasaan cinta  dan emosi…
 Sebagai buah khayalan,  mimpi dan pemikiran
 Untuk memulai hidup yang  baru.
—-
Tiga bulan pacaran  sudah  cukup. Aku tidak mau berlama-lama pacaran. Buang waktu  saja.  Kalau memang sudah waktunya, ya sudah waktunya.
Sejak pertama kali   bertemu dengan Bayu, aku sudah yakin, dia adalah orangnya. Dia   laki-laki yang paling cocok untukku. Laki-laki yang paling sempurna   untukku. Laki-laki yang bisa mengantarkanku mendapatkan semuanya. Semua   yang aku mau.
Cinta? Makan, tuh,   cinta. Aku tidak bilang aku tidak jatuh cinta padanya. Aku sangat  jatuh  cinta padanya. Tapi aku bukan menikah dengannya hanya gara-gara  cinta.  Siapa yang mau makan cinta seumur hidup? Yang pasti, bukan aku  orangnya.
Dia yang pertama kali   menyatakan cintanya untukku. Aku yang melamarnya untuk menikah  denganku.  Aku tidak mau berlama-lama hidup dalam khayalan dan impian.  Aku mau  kenyataan.
Gengsi? Tidak! Tidak   semua pria tahu kapan waktu yang paling tepat. Perempuan juga tidak   seharusnya malu atau gengsi. Semua sama-sama berhak. Sedikit pengakuan,   bisa memutuskan.
Ditolak? Tidak mungkin!  Dia tahu apa artinya diriku, seperti juga aku tahu apa arti dirinya  bagiku. Take it now  or you will regret it later, baby![arbimariska]