" Allah Tidak Akan Merubah Nasib Seseorang,,,,,,,, Kecuali Orang Itu Berusaha Untuk Merubahnya ",,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, MARI,,,, Wujudkan MIMPI Dengan DO'A dan IKHTIAR,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, JANGAN Melihat Mereka Yang GAGAL,,,,,,,,,,,,,,,,,TAPI Lihat Mereka Yang BERHASIL,,,,,,,,,,,,KENAPA Kita Tidak Bisa ?????,,,,,,,,,,,,,PASTI BISA !!!,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,KARENA KITA PUNYA KEMAUAN,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

ARTI SEBUAH PERNIKAHAN

 Aku merasakan kebahagian yang selama ini belum pernah kualami sepanjang kehidupanku. Perkawinan. Ya, perkawinan. Hanya perkawinan, sebuah kata yang  sangat kurindukan yang dulu tak pernah ada dalam kamus kehidupanku yang sudah hampir begitu terlambat kukatakan dewasa.. Ingin rasanya kubuat sebuah baliho raksasa di tengah kota agar semua orang tahu bahwa aku akan segera kawin. Lalu, bagaimana reaksi teman-temanku bila kubagikan cerita ini?!
“Apa?! Kamu mau kawin?!”
“Iya, Saya mau kawin!”
“Serius?!”
“Iya! Masa nggak percaya, sih?”
Nggak!”
“Memangnya kenapa kalau saya kawin?”
“Nggak apa-apa, sih, cuma aneh aja.”
“Aneh kenapa?”
“Aneh!”
“Ya, anehnya kenapa?”
“Kayak bukan dirimu saja.”
“Memangnya saua kenapa?”
“Emang bener kamu mau kawin?”
“Idiih! Masa saya bohong, sih?!”
“Nggak becanda, kan?”
“Heran, deh! Masa soal kayak begini bercanda!”
“Mungkin aja! Kamu, kan, gila!”
“Reseh! Ya sud! Tapi kalau beneran, mau kasih apa ke gua?”
“Apa aja yang kamu minta!”
“Benar?”
“Iya!”
“Kalau gitu, tunggu aja, deh undangannya!”
“Oke!”
“Saya pegang janjimu!”
“Siip!”
Klik. Kututup telepon. Ternyata Tita, teman yang sudah kukenal lebih dari sepuluh tahun pun tidak percaya!
—-
Seorang Diana mau kawin? Ha! Impossible! At least not until the next couple of years, deh! Semua orang berpikir seperti itu. Teman-teman, sahabat, saudara-saudara, bahkan orangtua dan adik-adikku pun tidak ada yang percaya.
Diana yang pintar. Penuh ambisi. Selalu bercita-cita tinggi dan ingin bisa merubah dunia. Tidak pernah ada kata berhenti bagi seorang Diana. Maju terus, pantang mundur!
Diana yang amat sangat mandiri. Super power. Selalu ingin mencoba dan merasakan semuanya. Sendirian! Tidak pernah ada keraguan atau rasa takut. Selama masih bisa, kenapa tidak dikerjakan sendiri?
Diana yang sangat menjunjung tinggi arti kebebasan - “Freedom is her middle name“. Tidak akan pernah ada yang bisa memberinya pagar. Tidak akan pernah ada yang bisa mengikatnya. Kebebasan adalah mutlak dan harus dipertahankan.
Sangat tipikal perempuan zaman sekarang, deh!
Tidak heran! Malah boleh kubilang sangat wajar sekali. Perubahan ini memang sangat mendadak. Semua keputusan ini memang aku ambil hanya dalam waktu yang sangat singkat. Tidak memakan proses yang terlalu lama. Cukup dalam kurun waktu tiga bulan saja. Sangat singkat, terutama buat orang yang dikenal dengan karakter dan sifat sepertiku.
Mereka pasti berpikir orang sepertiku tidak akan pernah kawin. Atau mungkin kawin, tapi tidak sekarang. Paling tidak sampai aku sudah bosan menikmati hidup. Sudah benar-benar mapan. Yang paling penting, sudah menemukan pria yang benar-benar ideal, bisa seratus persen dicintainya, dan tentu saja harus sangat pintar, mapan, pengertian, dan betul-betul sabar! Dalam kata lain, almost impossible. Paling-paling juga nanti, kalau aku sudah bangkotan. Itu pun masih belum tentu.
Mereka pasti heran, kenapa sekarang aku bisa tiba-tiba saja berubah pikiran? Apa aku tidak takut kehilangan semua ambisi dan cita-citaku selama ini? Apa aku bisa membagi semua kehidupanku hanya dengan satu orang saja? Apa aku benar-benar yakin bisa mempertahankan sebuah ikatan perkawinan? Perkawinan bukan permainan, lho! Intinya, apa aku benar-benar sudah siap?
Jujur saja, frankly kalau aku sampai ditanya, aku pasti tidak akan pernah bisa menjawab. Kenapa? Nggak tahu! Nggak takut? Ada juga, sih! Yakin? Hmmm…. Siap? Waduh!
Walau bagaimanapun juga keputusan ini sudah menjadi keputusanku. Keputusanku adalah final. Tidak akan pernah ada yang bisa mengganggu gugat setiap keputusanku. Tidak akan pernah bisa berubah. Semuanya sudah bulat.
Let them think what they want. Terserah! Aku tidak peduli! Ini adalah keputusanku dan hanya aku yang tahu alasannya. So, they better believe it or… get lost!
Nobody knows me better but me…
—–
Setiap manusia yang dilahirkan diberi kesempatan untuk menggunakan anugerah yang paling besar yang telah dikaruniai sejak masih dalam kandungan yang membuat derajat manusia menjadi sangat tinggi untuk memilih sebuah jalan dari berbagai pilihan jalan yang bercabang yang sangat beraneka ragam dengan berbagai macam variasi, bentuk dan jenisnya yang masing-masing akan menghasilkan sesuatu yang berakibat langsung maupun tidak langsung mempengaruhi setiap manusia yang dilahirkan itu sendiri.
Hidupku selama ini terlalu sempurna. Semua yang kuinginkan sudah kudapat. Semua yang aku inginkan sudah keperoleh. Paling tidak menurut takaran atau ukuranku sendiri. Orang lain bisa berpikir belum cukup, tapi hey, ini aku. Aku bukan mereka.
Pedidikanku tinggi, termasuk tinggi untuk ukuran orang-orang seumurku. Aku sudah mendapat gelar Master. Dari luar negeri dan dari sebuah universitas yang terkenal berkelas pula. Tidak semua orang bisa mendapatkannya. Tidak semudah itu.
Posisiku di kantor lumayan tinggi. Paling tidak aku bisa bilang aku adalah salah satu orang termuda yang bisa mendapatkan posisi ini di kantor asing yang jumlah karyawannya ribuan. Aku sudah menjadi manajer. Pengaruhku cukup besar. Kalau sekali saja aku gagal, berarti ratusan ribu Dollar melayang.
Pendapatku juga sangat besar. Aku bisa berfoya-foya setiap hari. Aku bisa makan di restoran enak setiap saat. Apapun yang kkumau bisa kubeli. Ditambah semua fasilitas yang diberikan, aku rasa sudah lebih dari cukup.
Yang paling membanggakan, semua itu kuperoleh atas hasil kerja kerasku sendiri. Sekolah tinggi dari hasil beasiswa. Posisi tinggi karena aku memang bisa memperlihatkan hasil yang terbaik. Gaji tinggi pun kudapat karena aku tahu aku punya bargaining power yang tinggi. No KKN, man!
Kasih sayang dan perhatian kudapat semuanya dari teman-teman dan keluarga. Aku sangat dekat dengan keluargaku. Aku sayang mereka dan mereka sangat sayang kepadaku. Bukan hanya sekadar dalam pikiran dan hati masing-masing, tapi semuanya kelihatan banget, kok! Kalau aku sakit pilek saja, berapa banyak telepon yang harus kujawab hanya untuk memastikan aku hanya terkena pilek dan bukan sesuatu yang serius. Apa ada yang lebih baik?
Kehidupanku dalam bersosialisasipun tidak perlu diragukan lagi. Mau anak pejabat, anak tukang becak, kakek-kakek, anak kecil, semua bisa jadi temanku. Aku memang tidak pernah memberi patokan khusus siapa yang bisa dan yang tidak bisa menjadi temanku. Selama hanya sebatas teman, semua tidak jadi masalah. Kalau bicara soal sahabat, tentu saja beda lagi.
Pacar? Jangan ditanya! Mungkin kalau pacaran, sih, tidak banyak - hanya dua kali saja! Jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pengalaman teman-teman wanitaku yang lain. Tapi kalau soal HTI (HUbungan Tanpa Ikatan), jumlahnya sudah tidak bisa terhitung lagi. Kalaupun aku akhirnya memutuskan untuk sendiri dulu, bukan berarti tidak ada yang mendekat. Malas saja! Kadang-kadang orang butuh waktu untuk menikmati hidup sendirian.
Semuanya begitu sempurna. Malah terlalu sempurna dan akhirnya semua menjadi membosankan. Tantangan apa lagi yang harus aku hadapi? Apa, sih, yang belum pernah aku rasakan? Apa yang belum pernah aku pikirkan? Apa yang belum pernah aku jalani?
Kupikir-kupikir lagi. Kucari-kucari terus. Yang paling menyebalkan, semakin kupikir, semakin kucari, semakin bosan rasanya aku dengan kehidupanku itu.
Selama ini aku memang sengaja menutupi semua pemikiran dan perasaanku yang satu ini. Buat apa juga orang lain tahu? Toh, pada akhir-akhirnya harus aku juga yang mengambil keputusan karena memang aku juga yang akan menjalani. Banyak jalan ke Roma, tapi hanya aku yang bisa memutuskan untuk pergi ke sana dengan berjalan kaki. Apa ada orang lain yang mau ikut? Yang capek, yang pegal-pegal, yang pingsan di jalan, kan, aku sendiri. Bukan orang lain, toh! Lagipula aku merasa punya kemampuan untuk mengambil keputusanku sendiri. Buat apa aku punya otak? Buat apa aku punya hati?
—-
“Say, doain, ya!”
“Kenapa? Ada apa?”
“Hi hi hi…!”
“Kok, ketawa, sih?”
“Malu!”
“Malu kenapa lagi?”
“Nggak….”
“Nggak apa?”
“Jangan ketawa, ya!”
“Apa dulu?”
“Tuh, kan, kamu gitu sih orangnya!”
“Iya, ah! Apaan, sih?”
“Masa tadi malam Rully ngajak saya kawin….”
“Oh, ya?”
“He-eh.”
“Dia bilangnya gimana?”
“Ya, gitu, deh!”
“Ya, gitu, gimana?”
“Yaaa, pokoknya dia bilang kalau dia sudah siap dan dia pengen buru-buru kawin sama gua.”
“Terus…”
“Ya, terus dia nanya apa saua mau kawin sama dia.”
“Ya, so pastilah. Kamu memangnya udah pengen kawin, bukan?”
“He-eh.”
“Terus, kapan rencananya?”
“Dia, sih, maunya secepatnya. Kalau bisa tahun ini juga.”
“Wah, selamat, ya!”
“Thank you! Saya juga doakan biar kamu juga cepet kawin, deh!”
“Eh, entar dulu, deh. Sama siapa juga nggak tahu.”
“Ntar juga pasti ada.”
“Hmmm….”
“Kenapa, sih, kamu nggak mau kawin?”
“Ya, saya masih enjoy aja.”
“Ntar ketuaan, lo!”
“Mendingan kawin tua, deh, daripada dapet yang nggak bener.”
“Iya, sih. Tapi kalau udah tua kan bakal susah punya anak.”
“Kata siapa? Kan, sekarang sudah ada bayi tabung.”
“Cuma kasihan aja sama anak, lo. Sampai kapan, sih, kamu kuat nemenin dia. Ntar pas dia lagi seneng-senengnya pergi, kamunya udah penyakitan. Kalau sekarang, kan, enak. Dirimu dan anak-anakmu jadi bisa kayak temen.”
“Udah, ah! Capek!”
……………
Entah mengapa obrolanku dengan Nina terus ada di dalam otakku. Semua kata-katanya selalu terngiang di telingaku. Aku jadi pusing sendiri, kenapa, nih?
Hanya perkawinan yang menjadi jawabannya.
Janji pernikahan adalah serangkaian kata-kata indah…
Yang diucapkan dua orang manusia dengan penuh perasaan cinta…
Di hadapan Tuhan dan semua makhluk ciptaannya
Di antara sekian banyak kata-kata dan janji yang pernah diucapkan…
Dengan penuh ketulusan dan besarnya harapan…
Di tengah-tengah kebimbangan dan kepastian…
Di ujung tombak penyerahan dan penerimaan diri…
Dinikmati perasaan cinta dan emosi…
Sebagai buah khayalan, mimpi dan pemikiran
Untuk memulai hidup yang baru.
—-
Tiga bulan pacaran sudah cukup. Aku tidak mau berlama-lama pacaran. Buang waktu saja. Kalau memang sudah waktunya, ya sudah waktunya.
Sejak pertama kali bertemu dengan Bayu, aku sudah yakin, dia adalah orangnya. Dia laki-laki yang paling cocok untukku. Laki-laki yang paling sempurna untukku. Laki-laki yang bisa mengantarkanku mendapatkan semuanya. Semua yang aku mau.
Cinta? Makan, tuh, cinta. Aku tidak bilang aku tidak jatuh cinta padanya. Aku sangat jatuh cinta padanya. Tapi aku bukan menikah dengannya hanya gara-gara cinta. Siapa yang mau makan cinta seumur hidup? Yang pasti, bukan aku orangnya.
Dia yang pertama kali menyatakan cintanya untukku. Aku yang melamarnya untuk menikah denganku. Aku tidak mau berlama-lama hidup dalam khayalan dan impian. Aku mau kenyataan.
Gengsi? Tidak! Tidak semua pria tahu kapan waktu yang paling tepat. Perempuan juga tidak seharusnya malu atau gengsi. Semua sama-sama berhak. Sedikit pengakuan, bisa memutuskan.
Ditolak? Tidak mungkin! Dia tahu apa artinya diriku, seperti juga aku tahu apa arti dirinya bagiku. Take it now or you will regret it later, baby![arbimariska]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

next page